Geomorfologi
Zona ini meliputi pantai utara Jawa
yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir
keseluruhan Pulau Madura. Merupakan daerah dataran yang berundulasi dengan
jajaran perbukitan yang berarah barat-timur dan berselingan dengan dataran
aluvial. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km dengan puncak tertinggi 515 m
(Gading) dan 491 (Tungangan). Litologi karbonat mendominasi zona ini.
Aksesibilitas cukup mudah dan karakter tanah keras.
Jalur Rembang terdiri dari
pegunungan lipatan berbentuk Antiklinorium yang memanjang ke arah Barat –
Timur, dari Kota Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura.
Morfologi di daerah tersebut dapat dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan
Morfologi dataran rendah, perbukitan bergelombang dan Satuan Morfologi
perbukitan terjal, dengan punggung perbukitan tersebut umumnya memanjang
berarah Barat – Timur, sehingga pola aliran sungai umumnya hampir sejajar
(sub-parallel) dan sebagian berpola mencabang (dendritic). Sungai utama yang
melewati daerah penyelidikan yaitu S. Lusi, yang mengalir ke arah Baratdaya,
melalui Kota Blora dan bermuara di Bengawan Solo.
Stratigrafi
Menurut Sutarso dan Suyitno (1976),
secara fisiografi daerah penelitian termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan
bagian dari cekungan sedimentasi Jawa Timur bagian Utara (East Java
Geosyncline). Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang berarah Timur
– Barat hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949).
Menurut Koesoemadinata (1978),
cekungan Jawa Timur bagian Utara lebih merupakan geosinklin dengan ketebalan
sedimen Tersier mungkin melebihi 6000 meter. Suatu hal yang khas dari cekungan
Jawa Timur bagian Utara berarah Timur-Barat dan terlihat merupakan gejala
tektonik Tersier Muda.
Tiga tahap orogenesa telah dikenal
berpengaruh terhadap pengendapan seri batuan Kenozoikum di Indonesia (Van
Bemmelen, 1949). Yang pertama terjadi di antara interval Kapur Akhir – Eosen
Tengah, kedua pada Eosen Tengah (Intramiocene Orogeny) dan ketiga terjadi
pada Plio-Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen Tengah ditandai oleh
peristiwa yang penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora dan
fauna, terutama di daerah Indonesia bagian Barat dan juga menyebabkan
terjadinya fase regresi (susut laut) yang terjadi dalam waktu singkat di Jawa
dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen Tengah ditandai juga oleh hiatus di
daerah Cepu dan dicirikan oleh perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi
menjadi fasies regresi di seluruh Zona Rembang. Selain hal tersebut diatas,
fase orogenesa ini ditandai oleh munculnya beberapa batuan dasar Pra – Tersier
di daerah pulau Jawa Utara (Van Bemmelen, 1949).
Perbedaan yang mencolok perihal
sifat litologi dari endapan – endapan yang berada pada Mandala Kendeng, Mandala
Rembang, dan Paparan laut Jawa yaitu sedimen. Mandala Kendeng pada umumnya
terisi oleh endapan arus turbidit yang selalu mengandung batuan piroklastik
dengan selingan napal dan batuan karbonat serta merupakan endapan laut dalam.
Umumnya sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan tersesar sungkup ke arah
Utara, sedangkan Mandala Rembang memperlihatkan batuan dengan kadar pasir yang
tinggi disamping meningkatnya kadar karbonat serta menghilangnya endapan
piroklastik. Sedimen-sedimen Mandala Rembang memberi kesan berupa endapan laut
dangkal yang tidak jauh dari pantai dengan kedalaman dasar laut yang tidak
seragam. Hal ini disebabkan oleh adanya sesar-sesar bongkah (Block faulting)
yang mengakibatkan perubahan-perubahan fasies serta membentuk daerah tinggian
atau rendahan. Daerah lepas pantai laut Jawa pada umumnya ditempati oleh
endapan paparan yang hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat.
Mandala Rembang menurut sistem
Tektonik dapat digolongkan ke dalam cekungan belakang busur (retro arc back
arc) (Dickinson, 1974) yang terisi oleh sedimen-sedimen berumur Kenozoikum
yang tebal dan menerus mulai dari Eosen hingga Pleistosen. Endapan berumur
Eosen dapat diketahui dari data sumur bor (Pringgoprawiro, 1983).
Litostratigrafi Tersier di Cekungan
Jawa Timur bagian Utara banyak diteliti oleh para pakar geologi diantaranya
adalah Trooster (1937), Van Bemmelen (1949), Marks (1957), Koesoemadinata
(1969), Kenyon (1977), dan Musliki (1989) serta telah banyak mengalami
perkembangan dalam susunan stratigrafinya. Kerancuan tatanama satuan
Litostratigrafi telah dibahas secara rinci oleh Pringgoprawiro (1983) dimana
susunan endapan sedimen di Cekungan Jawa Timur bagian Utara dimasukkan kedalam
stratigrafi Mandala Rembang dengan urutan dari tua ke muda yaitu Formasi
Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi
Bulu, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Lidah dan endapan yang termuda
disebut sebagai endapan Undak Solo. Anggota Ngrayong Formasi Tawun dari
Pringgoprawiro (1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Ngrayong oleh
Pringgoprawiro, 1983. Anggota Selorejo Formasi Mundu (Pringgoprawiro, 1983)
statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Selorejo oleh Pringgoprawiro (1985)
serta Djuhaeni dan Martodjojo (1990). Sedangkan Formasi Lidah mempunyai tiga
anggota yaitu Anggota Tambakromo, Anggota Malo (sepadan dengan Anggota Dander
dari Pringgoprawiro, 1983) dan Anggota Turi (Djuhaeni, 1995).
Rincian stratigrafi Cekungan Jawa
Timur bagian Utara dari Zona Rembang yang disusun oleh Harsono Pringgoprawiro
(1983) terbagi menjadi 15 (lima belas) satuan yaitu Batuan Pra – Tersier,
Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun,
Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok, Formasi Mundu,
Formasi Selorejo, Formasi Paciran, Formasi Lidah dan Undak Solo. Pembahasan
masing – masing satuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut :
1. Formasi Tawun
Formasi Tawun mempunyai kedudukan
selaras di atas Formasi Tuban, dengan batas Formasi Tawun yang dicirikan oleh
batuan lunak (batulempung dan napal). Bagian bawah dari Formasi Tawun, terdiri
dari batulempung, batugamping pasiran, batupasir dan lignit, sedangkan pada
bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari batupasir yang kaya akan
moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang mengandung mika
dan oksida besi. Penamaan Formasi Tawun diambil dari desa Tawun, yang dipakai
pertama kali oleh Brouwer (1957). Formasi Tawun memiliki penyebaran luas di
Mandala Rembang Barat, dari lokasi tipe hingga ke Timur sampai Tuban dan
Rengel, sedangkan ke Barat satuan batuan masih dapat ditemukan di Selatan Pati.
Lingkungan pengendapan Formasi Tawun adalah paparan dangkal yang terlindung,
tidak terlalu jauh dari pantai dengan kedalaman 0 – 50 meter di daerah tropis.
Formasi Tawun merupakan reservoir minyak utama pada Zona Rembang. Berdasarkan
kandungan fosil yang ada, Formasi Tawun diperkirakan berumur Miosen Awal bagian
Atas sampai Miosen Tengah.
2. Formasi Ngrayong
Formasi Ngrayong mempunyai kedudukan
selaras di atas Formasi Tawun. Formasi Ngrayong disusun oleh batupasir kwarsa
dengan perselingan batulempung, lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada
batupasir kwarsanya kadang-kadang mengandung cangkang moluska laut. Lingkungan
pengendapan Formasi Ngrayong di daerah dangkal dekat pantai yang makin ke atas
lingkungannya menjadi littoral, lagoon, hingga sublittoral pinggir. Tebal dari
Formasi Tawun mencapai 90 meter. Karena terdiri dari pasir kwarsa maka Formasi
Tawun merupakan batuan reservoir minyak yang berpotensi pada cekungan Jawa
Timur bagian Utara. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Ngrayong
diperkirakan berumur Miosen Tengah.
3. Formasi Bulu
Formasi Bulu secara selaras berada
di atas Formasi Ngrayong. Formasi Bulu semula dikenal dengan nama ‘Platen
Complex’ dengan posisi stratigrafi terletak selaras di atas Formasi Tawun dan
Formasi Ngrayong. Ciri litologi dari Formasi Bulu terdiri dari perselingan
antara batugamping dengan kalkarenit, kadang – kadang dijumpai adanya sisipan
batulempung. Pada batugamping pasiran berlapis tipis kadang-kadang
memperlihatkan struktur silang siur skala besar dan memperlihatkan adanya
sisipan napal. Pada batugamping pasiran memperlihatkan kandungan mineral kwarsa
mencapai 30 %, foraminifera besar, ganggang, bryozoa dan echinoid. Formasi ini
diendapkan pada lingkungan laut dangkal antara 50 – 100 meter. Tebal dari
formasi ini mencapai 248 meter. Formasi Bulu diperkirakan berumur Miosen Tengah
bagian atas.
4. Formasi Wonocolo
Lokasi tipe Formasi Wonocolo tidak dinyatakan
oleh Trooster, 1937, kemungkinan berasal dari desa Wonocolo, 20 km Timur
Laut Cepu. Formasi Wonocolo terletak selaras di atas Formasi Bulu, terdiri dari
napal pasiran dengan sisipan kalkarenit dan kadang-kadang batulempung. Pada
napal pasiran sering memperlihatkan struktur parallel laminasi. Formasi
Wonocolo diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan kedalaman antara 100 – 500
meter. Tebal dari formasi ini antara 89 meter sampai 339 meter. Formasi
Wonocolo diperkirakan berumur Miosen Akhir bagian bawah sampai Miosen Akhir
bagian tengah.
Struktur
Geologi
Pada masa sekarang (Neogen – Resen),
pola tektonik yang berkembang di Pulau Jawa dan sekitarnya, khususnya Cekungan
Jawa Timur bagian Utara merupakan zona penunjaman (convergent zone),
antara lempeng Eurasia dengan lempeng Hindia – Australia (Hamilton, 1979,
Katili dan Reinemund, 1984, Pulonggono, 1994).
Evolusi tektonik di Jawa Timur bisa
diikuti mulai dari Jaman Akhir Kapur (85 – 65 juta tahun yang lalu) sampai
sekarang (Pulonggono, 1990). Secara ringkasnya, pada cekungan Jawa Timur
mengalami dua periode waktu yang menyebabkan arah relatif jalur magmatik atau
pola tektoniknya berubah, yaitu pada jaman Paleogen (Eosen – Oligosen), yang
berorientasi Timur Laut – Barat Daya (searah dengan pola Meratus). Pola ini
menyebabkan Cekungan Jawa Timur bagian Utara, yang merupakan cekungan belakang
busur, mengalami rejim tektonik regangan yang diindikasikan oleh litologi
batuan dasar berumur Pra – Tersier menunjukkan pola akresi berarah Timur Laut –
Barat Daya, yang ditunjukkan oleh orientasi sesar – sesar di batuan dasar, horst
atau sesar – sesar anjak dan graben atau sesar tangga. Dan pada jaman
Neogen (Miosen – Pliosen) berubah menjadi relatif Timur – Barat (searah dengan
memanjangnya Pulau Jawa), yang merupakan rejim tektonik kompresi, sehingga
menghasilkan struktur geologi lipatan, sesar – sesar anjak dan menyebabkan
cekungan Jawa Timur Utara terangkat (Orogonesa Plio – Pleistosen) (Pulonggono,
1994). Khusus di Cekungan Jawa Timur bagian Utara, data yang mendukung kedua
pola tektonik bisa dilihat dari data seismik dan dari data struktur yang
tersingkap.
Menurut Van Bemmelen (1949),
Cekungan Jawa Timur bagian Utara (North East Java Basin) yaitu Zona
Kendeng, Zona Rembang – Madura, Zona Paparan Laut Jawa (Stable Platform)
dan Zona Depresi Randublatung.
Keadaan struktur perlipatan pada
Cekungan Jawa Timur bagian Utara pada umumnya berarah Barat – Timur, sedangkan
struktur patahannya umumnya berarah Timur Laut – Barat Daya dan ada beberapa
sesar naik berarah Timur – Barat.
Zona pegunungan Rembang – Madura (Northern
Java Hinge Belt) dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian Utara (Northern
Rembang Anticlinorium) dan bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium).
Bagian Utara pernah mengalami
pengangkatan yang lebih kuat dibandingkan dengan di bagian selatan sehingga
terjadi erosi sampai Formasi Tawun, bahkan kadang – kadang sampai Kujung Bawah.
Di bagian selatan dari daerah ini terletak antara lain struktur – struktur
Banyubang, Mojokerep dan Ngrayong.
Bagian Selatan (Middle Rembang
Anticlinorium) ditandai oleh dua jalur positif yang jelas berdekatan dengan
Cepu. Di jalur positif sebelah Utara terdapat lapangan – lapangan minyak yang
penting di Jawa Timur, yaitu lapangan : Kawengan, Ledok, Nglobo Semanggi, dan
termasuk juga antiklin – antiklin Ngronggah, Banyuasin, Metes, Kedewaan dan
Tambakromo. Di dalam jalur positif sebelah selatan terdapat
antiklinal-antiklinal / struktur-struktur Gabus, Trembes, Kluweh, Kedinding –
Mundu, Balun, Tobo, Ngasem – Dander, dan Ngimbang High.
Sepanjang jalur Zona Rembang
membentuk struktur perlipatan yang dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu :
- Bagian Timur, dimana arah umum poros antiklin membujur dari Barat Laut – Timur Tenggara.
- Bagian Barat, yang masing – masing porosnya mempunyai arah Barat – timur dan secara umum antiklin-antiklin tersebut menunjam baik ke arah barat ataupun ke arah timur.
Gambar Kerangka tektonik Cekungan
Jawa Timur bagian Utara (Katili dan Reinemund, 1984).
Semoga Bermanfaat……
0 comments:
Post a Comment