Friday 16 October 2015

GEOLOGI DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM, PROVINSI SUMATERA SELATAN

GEOLOGI DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM, PROVINSI SUMATERA SELATAN
Oleh :
Agung Bekti Setiawan*, Aris Munandar*, Fauzan Arifin*
(*) Program Studi Teknik Geologi Program Studi Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

ABSTRAK
Kabupaten Muara Enim secara administratif masuk dalam Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia.  Kabupaten ini memiliki luas wilayah 7.300,50 km². Kabupaten ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil batubara terbesar di Indonesia.
Secara fisiografi, Pulau Sumatera menurut Van Bemmelen (1949), sebagian besar bagian utara Kabupaten Muara Enim termasuk ke dalam fisiografi Zona Dataran Rendah dan Berbukit, dan sebagiannya lagi masuk ke dalam Zona Semangko di bagian selatan.
Secara regional daerah penelitian masuk dalam cekungan sumatera selatan dengan urutan stratigrafi dari tua ke muda adalah Batuan Pra-Tersier, Formasi Lahat, formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, Formasi Kasai, Endapan Kuarter. Pada daerah penelitian didominasi oleh batuan dari Formasi Muara Enim.
Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra dan Cekungan Sumatra Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) ada 4 fase, yaitu: 1. Fase kompresi Jurasik awal sampai Kapur Akhir, 2. Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Oligosen, 3. Fase ketiga yaitu adanya fase tektonik tenang, pada Oligosen sampai Pliosen, dan 4. Fase kompresi pada Pliosen – Plistosen.
Potensi Sumber Daya Alam yang terdapat pada Kabupaten Muara Enim antara lain adalah minyak dan gas bumi, geothermal, batubara, Coal Bed Methane, dll.

Kata Kunci:     fisiografi, stratigrafi, tektonik, struktur, sumber daya alam, Muara Enim.



I.         LATAR BELAKANG
Kabupaten Muara Enim secara administratif masuk dalam Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 7.300,50 km². Kabupaten ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil batubara terbesar di Indonesia.
Dengan kondisi geologi yang kompleks, daerah ini sangat menarik untuk dibahas. Secara garis besar Kabupaten Muara Enim masuk dalam Cekungan Sumatera Selatan.
II.       MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui kondisi geologi regional daerah Kabupaten Muara Enimm Provinsi Sumatera Selatan serta potensi sumber daya alam yang ada di daerah ini.

III.   LOKASI PENELITIAN
Lokasi penelitian berada di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Secara geografis terletak pada posisi antara 4o – 6o Lintang Selatan dan 104o – 106o Bujur Timur
·         Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Kabupaten Banyuasin, dan Kota Palembang.
·         Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Ogan Ilir, Ogan Komering Ulu, Kota Palembang dan Kota Prabumulih. 
·         Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dan Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu.

·         Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Musi Rawas, Kota Pagaralam dan Kabupaten Lahat.

Gambar 1. Lokasi Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan (Wikipedia)

IV.         GEOLOGI REGIONAL
1.    Fisiografi
Secara fisiografi, Pulau Sumatera menurut Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona fisiografi :
1.                  Zona Kepulauan Busur muka.
2.                  Zona Semangko.
3.                  Zona Pegunungan Barisan.
4.                  Zona Dataran Rendah dan Berbukit.
5.                  Zona Pegunungan Tiga Puluh.
6.                  Zona Paparan Sunda.
                             
Gambar 2. Fisiografi, Pulau Sumatera Van Bemmelen , 1949.


            Berdasarkan posisi geografisnya, sebagian besar bagian utara Kabupaten Muara Enim termasuk ke dalam fisiografi Zona Dataran Rendah dan Berbukit, dan sebagiannya lagi masuk ke dalam Zona Semangko di bagian selatan.

2.    Stratigrafi
          Peneliti terdahulu telah menyusun urutan-urutan stratigrafi  umum Cekungan Sumatera Selatan, antara lain : Van Bemmelen (1932), Musper (1937), Marks (1956), Spruyt (1956), Pulunggono (1969), dan De Coster (1974). Berdasarkan peneliti-peneliti terdahulu, maka Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1.      Batuan Pra-Tersier
          Batuan Pra-Tersier Cekungan Sumatera Selatan merupakan dasar cekungan sedimen Tersier. Batuan ini diketemukan sebagai batuan beku, batuan metamorf dan batuan sedimen (De Coster, 1974).
2.      Batuan Tersier
          Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut laut. Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut disebut Kelompok Telisa (De Coster, 1974), terdiri atas Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja (BRF), dan Formasi Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut disebut Kelompok Palembang (Spruyt, 1956) terdiri atas Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formsi Kasai (KAF).
a.             Formasi Lahat (LAF)
      Menurut Spruyt (1956), Formasi ini terletak secara tidak selaras diatas batuan dasar.
      Formasi ini memiliki 3 anggota, yaitu :
1.      Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari tuf andesitik, breksi dan lapisan lava.
2.      Anggota Batupasir Kuarsa, diendapkan secara selaras di atas anggota pertama. Terdiri dari konglomerat dan batupasir berstruktur crossbedding.
3.      Anggota Tuf Kikim Atas, terdiri dari tuf dan batulempung tufan berselingan dengan endapan mirip lahar dan diendapkan secara selaras dan bergradual di atas Anggota Batupasir Kuarsa.
      Formasi Lahat berumur Paleosen hingga Oligosen Awal.
      Formasi ini diendapkan dalam air tawar daratan.
b.      Formasi Talang Akar (TAF)
      Termasuk dalam Sub-Cekungan Jambi
      Menurut Pulunggono (1976), Formasi Talang Akar berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan diendapkan secara selaras di atas Formasi Lahat.
      Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih.
      Diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga transisi.
c.       Formasi Baturaja (BRF)
      Menurut Spruyt (1956), formasi ini diendapkan secara selaras diatas Formasi Talang Akar.
      Litologi terdiri dari batugamping, batugamping terumbu, batugamping pasiran, batugamping serpihan, serpih gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral.
      Diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen Awal.
d.      Formasi Gumai (GUF)
      Merupakan hasil pengendapan sedimen-sedimen yang terjadi pada waktu genang laut mencapai puncaknya.
      Formasi ini diendapkan selaras diatas Formasi Baturaja dan anggota Transisi Talang Akar.
      Menurut Pulonggono (1976) berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah (N9 – N12).
      Diendapkan pada lingkungan laut dalam.
      Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih gampingan dengan sisipan batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih.
e.       Formasi Air Benakat (ABF)
      Menurut Spruyt (1956), formasi ini merupakan tahap awal dari siklus pengendapan Kelompok Palembang, yaitu pada saat permulaan dari endapan susut laut.
      Formasi ini terdiri dari batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat mengandung lignit dan di bagian atas mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera.
      Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal, dan di endapkan secara selaras di atas Formasi Gumai (Pulonggono, 1976)
      Berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir
f.       Formasi Muara Enim (MEF)
      Menurut Spruyt (1956) formasi in terlatak selaras diatas Formasi Air Benakat.
      Terdiri dari batupasir, batulempung , batulanau dan batubara.
      Formasi Muara Enim berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal, dan diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada lingkungan laut dangkal,  dataran delta dan non-marine.
g.      Formasi Kasai (KAF)
      Formasi ini mengakhiri siklus susut laut Kelompok Palembang (De Coster dan Adiwijaya, 1973).
      Formasi ini terdiri dari batupasir tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tuf pumice kaya kuarsa, batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit mengandung pumice dan tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta kayu yang terkersikkan.
      Formasi Kasai berumur Pliosen Akhir-Plistosen Awal.
      Fasies pengendapannya adalah fluvial dan alluvial fan.
3. Endapan Kuarter
            Litologi termuda yang tidak terpengaruh oleh orogenesa Plio-Plistosen digolongkan dalam Sedimen Kuarter. Golongan ini diendapkan secara tidak selaras di atas formasi yang lebih tua, dicirikan oleh kehadiran fragmen-fragmen konglemerat berukuran kerikil hingga bongkah, hadir batuan volkanik andesitik-basaltik berwarna gelap.

Tabel 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (Sardjito et.al., 1991)


1.                  Tektonik dan Struktur
             Peristiwa Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra dan Cekungan Sumatra Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) adalah:
  1. Fase kompresi yang berlangsung dari Jurasik awal sampai Kapur. Tektonik ini menghasilkan sesar geser dekstral WNW – ESE seperti Sesar Lematang, Kepayang, Saka, Pantai Selatan Lampung, Musi Lineament dan N – S  trend. Terjadi wrench movement dan intrusi granit berumur Jurasik – Kapur.
  2. Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Oligocene yang menghasilkan sesar normal dan sesar tumbuh berarah N – S dan WNW – ESE. Sedimentasi mengisi cekungan atau terban di atas batuan dasar bersamaan dengan kegiatan gunung api. Terjadi pengisian awal dari cekungan yaitu Formasi Lahat.
  3. Fase ketiga yaitu fase tektonik tenang Oligosen-Pliosen, tidak ada pergerakan pada dasar cekungan dan sedimen yang terendapkan lebih dulu (Formasi Lahat). Pengisian cekungan selama fase tenang berlangsung selama awal Oligosen-Pliosen. Sedimen yang mengisi cekungan selama fase tenang adalah Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai (Telisa), Formasi Lower Palembang (Air Benakat), Middle Palembang Muara Enim) dan Upper Palembang (Kasai).
  4. Fase keempat berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen, sesar-sesar bongkah dasar cekungan mengalami reaktifasi yang mengakibatkan pengangkatan dan pembentukan antiklinorium utama di Cekungan sumatra Selatan. Antiklinorium tersebut antara lain Antiklinorium Muara enim, Antiklinorium Pendopo-Benakat, dan Antiklinorium Palembang (De Coster 1974).

V.         SUMBER DAYA ALAM
Potensi Sumber Daya Alam yang ada di Kabupaten Muara Enim berupa Minyak dan Gas Bumi, Geothermal, Batubara, Coal Bed Methane (CBM), dll.
1.    Minyak dan Gas Bumi
Potensi keberadaan minyak dan gas bumi pada Kabupaten Muara Enim sangat dimungkinkan karena Kabupaten Muara Enim secara regional masuk ke dalam Cekungan Sumatera Selatan pada Sub-Cekungan Palembang.
Cekungan Sumatera Selatan sendiri merupakan cekungan belakang busur. Berdasarkan data, sudah ada pemboran produksi minyak bumi diantaranya :
  • Pemboran dua sumur baru, yakni sumur NR 43 dan NR 50 di lapangan Limau yang berlokasi di Desa Tebat Agung, Kecamatan Rambang Dangku, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan oleh PT. Pertamina        EP.
  • Pemboran sumur PMN-9 di Desa Prabumenang, Kecamatan Lubai Ulu, Kabupaten Muara Enim oleh PT. Pertamina EP.


2.    Geothermal
Daerah Kabupaten Muara Enim juga berpotensi akan adanya sumber daya energy geothermal. PLTP Lumut Balai yang dibangun PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) merupakan proyek pembangkit listrik geothermal pertama di Sumatera Selatan. Tepatnya, di Desa Penindaian, Kecamatan Semende Darat Laut, Kabupaten Muara Enim.

3.    Batubara
Kabupaten Muara Enim , Provinsi Sumatera Selatan sangat berpotensi akan adanya sumber daya Batubara karena Formasi Muara Enim yang merupakan Formasi pembawa lapisan Batubara mempunyai pelamparan yang luas di Kabupaten ini.

4.    Coal Bed Methane (CBM)
CBM adalah gas metana (gas alam) yang dihasilkan selama proses pembatubaraan dan terperangkap dalam batubara. CBM dikenal juga sebagai ‘sweet gas’, karena sedikitnya kandungan sulfur (dalam bentuk hidrogen sulfida).
Sumur ME-III-CBM-001 di Desa Jiwa Baru, Kecamatan Lubai, Muara Enim, Sumatera Selatan menjadi sumur Coal Bed Methane (CBM) pertama yang dioperasikan oleh Pertamina melalui Pertamina Hulu Energi Metana Sumatera 4 (PHE Metra 4).

VI.      KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan maka dapat diambil suatukesimpulan bahwa :
1.      Kondisi geologi Kabupaten Muara Enim sangat kompleks dan  menarik karena daerah ini masuk dalam cekungan Sumatera Selatan yang merupakan cekunga belakang busur.
2.      Secara Fisiografis Van Bemmelen (1949), Kabupaten Muara Enim termasuk ke dalam fisiografi Zona Dataran Rendah dan Berbukit, dan sebagiannya lagi masuk ke dalam Zona Semangko.
3.      Secara regional urutan stratigrafi daerah ini dari tua ke muda adalah Batuan Pra-Tersier, Formasi Lahat, formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, Formasi Kasai, Endapan Kuarter. Pada daerah penelitian didominasi oleh batuan dari Formasi Muara Enim.
4.      Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra dan Cekungan Sumatra Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) ada 4 fase, yaitu: 1. Fase kompresi Jurasik awal sampai Kapur Akhir, 2. Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Oligosen, 3. Fase ketiga yaitu adanya fase tektonik tenang, pada Oligosen sampai Pliosen, dan 4. Fase kompresi pada Pliosen – Plistosen.
5.      Potensi Sumber Daya Alam yang terdapat pada Kabupaten Muara Enim antara lain adalah minyak dan gas bumi, geothermal, batubara, Coal Bed Methane, dll.

DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, Van. R.W. 1949. The geology of Indonesia Vol IA. The Haque of Netherlands.
Bishop, M.G., 2001, South Sumatera Basin Province, Indonesia, USGS Open-file report 99-50-S
De Coster, G. L., 1974, The Geology of the Central and South Sumatra Basin, Proceedings 3 rdAnnual Convention IPA, Juni 1974, Jakarta
Koesoemadinata, R,P., 1976, Tertiary Coal Basins of Indonesia, Prepare for 10th Annual of CCOP, Geological Survey of Indonesia
Pulunggono, A., Agus, H.S., Kosuma, C.G., 1992. Pre-Tertiary and Tertiary Fault System as a Framework of the South Sumatra Basin, A Study of SAR-Maps, Proceeding IPA 21st Annual Convention,vol 1, p. 339-360.
Sardjito, Fadianto, E., Djumlati, Hansen, S., 1991. Hydrocarbon Prospect of Pre Tertiary Basement in Kuang Area, South Sumatra, Proceeding IPA 20th Annual Convention, vol. 1, p. 255-277.